Home » » Rumah Potong Hewan (RPH) Sapi Oleh : Septina

Rumah Potong Hewan (RPH) Sapi Oleh : Septina

Written By Unknown on Sabtu, 01 Juni 2013 | 17.23

SABTU, 27 MARET 2010

Rumah Potong Hewan (RPH) Sapi

Oleh : Septina

BAB I
PENDAHULUAN

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).
Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.


BAB II
PEMBAHASAN

Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan.
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas (Manual Kesmavet, 1993).

A. Bangunan RPH

Desain dan tata ruang akan membicarakan permasalahan kompleks Rumah Potong Hewan yang meliputi bangunan dan perlengkapannya beserta denah dari berbagai tipe RPH. Pembahasan ini banyak diambil dari pendapat Lestari (1993).
Produk peternakan asal hewan mempunyai sifat mudah rusak dan dapat bertindak sebagai sumber penularan penyakit dari hewan ke manusia. Untuk itu dalam merancang tata ruang RPH perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang sehat dan tidak membahayakan manusia bila dikonsumsi sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner (Koswara, 1988).
2Tata ruang RPH yang baik dan berkualitas biasanya dirancang berdasarkan desain yang baik dan berada di lokasi yang tepat untuk memenuhi keperluan jangka pendek maupun jangka panjang dan menjamin fungsinya secara normal. Secara garis besar dari berbagai syarat bangunan dan perlengkapan yang diperlukan, maka RPH dapat diterjemahkan dalam tata ruang sesuai dengan tipenya seperti pada gambar 2 sampai 5 (Lestari, 1993).
Perancangan bangun RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar Internasional dan menjamin produk sehat dan halal. RPH dengan standar internasional biasanya dilengkapi dengan peralatan moderen dan canggih, rapi bersih dan sistematis, menunjang perkembangan ruangan dan modular sistem. Produk sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat. Selain itu juga harus bersahabat dengan alam, yaitu lokasi sebaiknya di luar kota dan jauh dari pemukiman dan memiliki saluran pembuangan dan pengolahan limbah yang sesuai dengan AMDAL (Lestari, 1993).
Gambar 1. Tata ruang RPH tipe A (Lestari, 1994)
Keterangan: 
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Ruang proses jeroan.
4. Ruang pengolahan kulit.
5. Ruang laboratorium.
6. KM/WC.
7. Kantor. 
8. Ruang cold storage.
9. Gang masuk sapi satu persatu. 
10. Tempat sembelih.
11. Ruang proses jeroan.
12. Ruang pengolahan kulit.
13. Ruang laboratorium.
14. KM/WC.
15. Kantor. 
16. Ruang cold storage.
Gambar 2. Tata ruang RPH tipe B (Lestari, 1994)
Keterangan: 
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kepala, kaki, kulit , jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Periksa daging.
6. Penimbangan.

Gambar 3. Tata ruang RPH tipe C (Lestari, 1994)
Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kulit, kepala, kaki, jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Pemisahan daging.
6. Penimbangan.
7. Ruang jeroan.
8. Ruang kepala, kulit, kaki.
9. Ruang penirisan.
10. Kantor.


Gambar 4. Tata ruang RPH tipe D (Lestari, 1994)


Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kulit, kepala, kaki, jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Pemisahan daging.
6. Penimbangan.
7. Ruang jeroan.
8. Ruang kepala, kulit, kaki.
9. Kantor.


B. SNI RPH

RPH, di samping sebagai sarana produksi daging juga berfungsi sebagai instansi pelayanan masyarakat yaitu untuk menghasilkan komoditas daging yang sehat, aman dan halal (sah). Umumnya RPH merupakan instansi Pemerintah. Namun perusahaan swasta diizinkan mengoperasikan RPH khusus untuk kepentingan perusahaannya, asalkan memenuhi persyaratan teknis yang diperlukan dan sesuai dengan peraturan Pemerintah yang berlaku. Pembangunan RPH harus memenuhi ketentuan atau standar lokasi, bangunan, sarana dan fasilitas teknis, sanitasi dan higiene, serta ketentuan lain yang berlaku. Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan vital dalam bangunan, pengelolaan dan operasi RPH.
Beberapa persyaratan RPH secara umum adalah Merupakan tempat atau bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan dinding, memiliki tempat atau kandang untuk menampung hewan untuk diistirahatkan dan dilakukan pemeriksaan ante mortem sebelum pemotongan. Syarat penting lainnya memiliki persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang cukup, meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai. Untuk menampung limbah hasil pemotongan diperlukan saluran pembuangan yang cukup baik, sehingga lantai tidak digenangi air buangan atau air bekas cucian.
Acuan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan yang baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak sehingga keberadaan RPH tidak menimbulkan ganguan berupa polusi udara dan limbah buangan yang dihasilkan tidak mengganggu masyarakat.

C. Teknik Pemotongan pada Sapi
1. Pengistirahatan Ternak
Ternak sebelum disembelih sebaiknya dipuasakan dahulu selama 12 sampai 24 jam. Ternak diistirahatkan mempunyai maksud agar ternak tidak stres, darah dapat keluar sebanyak mungkin dan cukup tersedia energi agar proses rigormortis berjalan sempurna (Soeparno, 1992). Pengistirahatan ternak penting karena ternak yang habis dipekerjakan jika langsung disembelih tanpa pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap yang biasa disebut dark cutting meat, karena ternak mengalami stress (Beef Stress Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat yang akan menggangu metabolisme glikogen pada otot (Smith et al., 1978). 
Pengistirahatan ternak dapat dilaksanakan dengan pemuasaan atau tanpa pemuasaan. Pengistirahatan dengan pemuasaan mempunyai maksud untuk memperoleh berat tubuh kososng (BTK = bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kencing dan isi saluran empedu) dan mempermudah proses penyembelihan bagi ternak agresif dan liar. Pengistirahatan tanpa pemuasaan bermaksud agar ketika disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin dan ternak tidak mengalami stress (Soeparno, 1992).
Pada saat ternak diistirahatkan juga dilaksanakan pemeriksaan sebelum penyembelihan (antemortem), yang meliputi kesehatan ternak, cidera atau tidaknya ternak dan bunting atau tidaknya ternak (Manual Kesmavet, 1992).
Pemeriksaan ante mortem adalah pemeriksaan yang dilakukan sebelum hewan disembelih. Petugas pemeriksaan antemortem adalah dokter hewan. Dokter hewan inilah yang berhak menentukan apakah hewan dapat dipotong atau tidak. Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan hewan sebelum disembelih. Adapun tujuan pemeriksaan antemortem antara lain :
a. Memperoleh ternak yang cukup sehat.
b. Menghindari pemotongan hewan yang sakit/abnormal.
c. Mencegah atau meminimalkan kontaminasi pada alat, pegawai dan karkas.
d. Sebagai bahan informasi bagi pemeriksaan postmortem.
e. Mencegah penyebaran penyakit zoonosis.
f. Mengawasi penyakit tertentu sesuai dengan undang-undang.
(Anonim, 2009).
2. Prosessing Karkas Sapi
Setelah sapi lolos pada pemeriksaan pre-mortem oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk, melalui proses regristasi dan dinyatakan memenuhi syarat, maka sapi dibawa masuk ke ruang persiapan penyembelihan untuk melalui prosesing penyembelihan (Manual Kesmavet, 1992).
a. Pemingsanan (Stunning)
Pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk keamanan, menghilangkan rasa sakit sesedikit mungkin pada ternak (Blakely dan Bade, 1992), memudahkan pelaksanaan penyembelihan dan kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik (Soeparno, 1992).
Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat pemingsan knocker, senjata pemingsan stunning gun, pembiusan dan arus listrik (Soeparno, 1992). Alat yang sering digunakan adalah captive bolt, yaitu suatu tongkat berbentuk silinder selongsong kosong yang mempunyai muatan eksplosif yang ditembakkan oleh suatu tekanan pada kepala sapi (Blakely dan Bade, 1992).
Alat pemingsan diarahkan pada bagian titik tengan tulang kening kepala sapi sedikit dia atas antara kedua kelopak mata, sehingga peluru diarahkan pada bagian otak. Peluru yang ditembakkan akan mengenai otak dengan kecepatan tinggi, sehingga sapi menjadi pingsan (Soeparno, 1992).
b. Penyembelihan
Penyembelihan hewan potong di Indonesia harus menggunakan metode secara Islam (Manual Kesmavet, 1992). Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan menurut syariah. Penyembelihan dilaksanakan dengan memotong mari’ (kerongkongan), hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat darah pada leher (Nuhriawangsa, 1999).
Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung (Blakely dan Bade, 1992). Pisau pemotongan diletakkan 45 derajat pada bagian brisket (Smith et al., 1978), dilakukan penyembelihan oleh modin dan dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung (Soeparno, 1992). Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah keluar dengan sempurna (Blakely dan Bade, 1992).
c. Pengulitan
Pengulitan dimulai setelah dilakukan pemotongan kepala dan ke empat bagian kaki bawah (Smith et al., 1978). Pengulitan bisa dilakukan di lantai, digantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 1992).
Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki, dan kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh (Soeparno, 1992) dan diakhiri dengan pemotongan ekor (Smith et al., 1978).
d. Eviserasi
Menurut Smith et al. (1978) proses eviserasi bertujuan untuk mengeluarkan organ pencernaan (rumen, intestinum, hati, empedu) dan isi rongga dada (jantung, eshophagus, paru, trachea).
Tahap-tahap eviserasi menurut Soeparno (1992) dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:
1. Rongga dada dibuka dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada.
2. Rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah abdominal.
3. Memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal.
4. Belah bonggol pelvic dan pisahkan kedua tulang pelvic.
5. Buat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik.
6. Pisahkan eshophagus dari trakhea.
7. Keluarkan kandung kencing dan uterus jika ada.
8. Keluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen dan bagian lain dari lambung serta hati dan empedu.
9. Diafragma dibuka dan keluarkan organ dada (pluck) yang terdiri dari jantung, paru-paru dan trakhea.
Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan menjadi bagian dari karkas. Eviserasi dilanjutkan dengan pemeriksaan organ dada (Smith et al., 1978), organ perut dan karkas untuk mengetahui apakah karkas diterima atau ditolak untuk dikonsumsi manusia (Blakely dan Bade, 1992).
e. Pembelahan
Pembelahan dilaksanakan dengan membagi karkas menjadi dua bagian sebelah kanan dan kiri dengan menggunakan gergaji tepat pada garis tengah punggung. Karkas dirapikan dengan melakukan pemotongan pada bagian-bagian yang kurang bermanfaat dan ditimbang untuk memperoleh berat karkas segar (Soeparno, 1992). Pemotongan dilaksanakan untuk menghilangkan sisa-sisa jaringan kulit, bekas memar, rambut dan sisa kotoran yang ada (Smith et al., 1978).
Karkas agar lebih baik kualitasnya, maka disemprot air dengan tekanan tinggi dan dilanjutkan dengan dicuci air hangat yang dicampur garam (Smith et al., 1978), dan dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan (Soeparno, 1992).
f. Pendinginan
Karkas ditimbang diberi label dan disimpan pada suhu 28 sampai 32oF pada ruang pendingin agar dingin dengan berkurangnya panas tubuh dengan waktu 12 sampai 24 jam. Karkas kemudian dimasukan dalam ruang pendingin dengan suhu 32 sampai 34oF untuk penyimpanan berikutnya (Smith et al., 1978).
Pendinginan dilakukan pada suhu 2oC selama 24 jam untuk persiapan pemeriksaan kualitas karkas (grading). Karkas disayat pada posisi antara tulang rusuk ke-12 dan ke-13 untuk membuka loin eye, dan dilakukan penilaian untuk menentukan grade karkas.

3. Potongan pada Karkas Sapi
Menurut Soeparno (1992) potongan primal karkas sapi dari potongan setengah dibagi lagi mennjadi potongan seperempat, yang meliputi:
Potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan, dada (breast) yang terbagi menjadi dua, yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (plate).
Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round), dan paha atas (rump), loin yang terdiri sirloin dan shortloin, flank beserta ginjal dan lemak yang menyeliputinya.
Pemisahan bagian karkas seperempat depan dan seperempat belakang dilakukan diantara rusuk 12 dan 13 (rusuk terakhir diikutkan pada seperempat belakang). Cara pemotongan primal karkas adalah sebagai berikut: hitung tujuh vertebral centra kearah depan (posisi karkas tergantung ke bawah), dari perhubungan sacralumbar. Potong tegak lurus vertebral column dengan gergaji. Pisahkan bagian seperempat depan dari seperempat belakang dengan pemotongan melalui otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke-12. Pisahkan bagian bahu dari rusuk dengan memotong tegak lurus melalui vertebral column dan otot-otot intercostals atau antara rusuk ke-5 dan ke-6. Pisahkan rusuk dari dada belakang dengan membuat potongan dari anterior ke posterior. Pisahkan bahu dari dada depan dengan memotong tegak lurus rusuk ke-5, kira-kira arah proksimal terhadap tulang siku (olecranon). Paha depan juga dapat dipisahkan (Soeparno, 1992).
Cara pemotongan primal karkas seperempat belakang diawali dengan memisahkan ekses lemak dekat pubis dan bagian posterior otot abdomianal. Pisahkan flank dengan memotong dari ujung distal tensor fascialata, anterior dari rectus femoris ke arah rusuk ke-13 (kira-kira 20 cm dari vertebral column). Pisahkan bagian paha dari paha atas dengan memotong melalui bagian distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari femur. Pisahkan paha atas dari sirloin dengan potongan melewati antara vertebral sacral ke-4 dan ke-5 dan berakhir pada bagian ventral terhadap acetabulum pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap vertebral column dan melalui vertebral lumbar antara lumbar ke-5 dan ke-6 (Soeparnpo, 1992).

Gambar 5. Potongan primal karkas sapi (National Live Stock and Meat Board,1973 yang disitasi oleh Soeparno, 1992)


Gambar 6. Potongan daging sapi sistem Amerika Serikat

D. Penilaian Karkas Sapi
Penetapan peringkat karkas sapi ditetapkan berdasarkan pada kualitas dan palatabilitas daging dan jumlah atau hasil potongan-potongan dagingnya (Blakely dan Bade, 1992). Peringkat kualitas karkas menurut USDA terdiri dari Prime, Choice, Good, Standart, Commercial, Utility dan Cutter. Penilaian karkas menurut USDA juga bisa didasarkan pada nilai perdagingan karkas (Yield grade) dengan nilai 1 sampai 5 (Smith et al., 1978). 
Penilaian karkas menurut USDA (United State Departement of Agriculture) didasarkan pada:
Kualitas karkas (carcass quality) dengan melihat kedewasaan ternak (umur ketika dipotong), susunan daging, tekstur daging dan perlemakan marbling.
Potongan-potongan daging (cutability) dengan melihat berat karkas, luas area ribeye, jumlah persentase lemak internal dan ketebalan lemak eksternal (Smith et al., 1978).
Kedewasaan ternak diukur berdasarkan bentuk dan proses penulangan serta warna dan tekstur daging tak berlemak. Perlemakan dengan melihat penyebaran lemak di dalam otot pada lokasi antara tulang rusuk ke-12 dan ke-13. Tekstur dan warna daging tidak berlemak juga ditentukan nilainya pada tulang rusuk ke-12 dan ke-13 (Blakely dan Bade, 1992). Penentuan warna daging, kekerasan daging, tekstur daging, jumlah marbling, distribusi marbling dan tektur marbling dengan menggunakan angka skor 1 sampai 8 dengan keterangan tertentu (Smith et al., 1978).
Berat karkas ditentukan dengan menimbang berat karkas segar atau karkas beku yang dikalikan 102%. Ketebalan lemak eksternal diukur dengan melihat ketebalan lemak pada daging ribeye (Gambar 17). Luas area ribeye dengan mengukur luas penampang daging pada ribeye dengan menempelkan pada plastik dengan skala kotak-kotam 0,1 inci (Gambar 8). Presentase lemak internal dengan melihat jumlah lemak ginjal, pelvis dan jantung pada berat karkas segar dikalikan 100% (Smith et al., 1978).
Nilai perdagingan karkas (Yield grade) dihitung dengan menggunakan persamaan menurut USDA, yaitu: 2,50 + (2,50 x tebal lemak punggung dalam inci) + (0,20 x % lemak internal) + (0,0038 x berat karkas dalam lbs) – (0,32 x luas area LD atau ribeye dalam inci2). Hasil perhitungan dibulatkan ke bawah, misal 1,69 dibulatkan menjadi 1,0, nilai tersebut menunjukkan peringkat Yield grade (Swatland, 1984)
Gambar 7. Pengukuran ketebalan lemak eksternal (Smith et al., 1978)
Gambar 8. Pengukuran luas area ribeye (Smith et al., 1978)

E. SNI Daging Sapi
Karkas sapi Cow carcasses SNI 01-3932 -1995
Daging sapi/kerbau Beef SNI 01-3947 -1995
Bakso daging SNI 01-3818 -1995
Sosis daging SNI 01-3820 -1995Dendeng sapi SNI 01-2908 -1992Keripik paru sapi SNI 01-4280 -1996Persyaratan sapi potong SNI 01-3523 -1994Standar daging sapi / kerbau SNI 01-3947 -1995Kulit sapi mentah kering SNI 06-0206 -1987(Anonim, 2006).


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas sebagai berikut:
1.Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas.
2.Disain dan konstruksi bangunan RPH harus memenuhi persyaratatan teknis dan hygiene.
3.Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak.
4.Teknik pemotongan pada sapi meliputi pengistirahatan ternak, prosessing karkas sapi, dan penentuan potongan pada karkas sapi.
5.Karkas sapi Cow carcasses SNI 01-3932 -1995
Daging sapi/kerbau Beef SNI 01-3947 -1995



DAFTAR PUSTAKA


Anonim, 2006. Standar Naasional Indonesia Sub Sektor Peternakan.http://www.mailarchive.com/agromania@yahoogroups.com/info.html.Diakses pada tanggal 07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
Anonim, 2009. Rumah Potong Hewan Bagi Kesehatan Masyarakat.http://www.timorexpress.com/index.php. Diakses pada tanggal 07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong, Jakarta.
Lestari, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.
Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke‑1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Swatland, H. J., 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Diposkan oleh Septinadi 00:30

Sumber Artikel : http://septinalove.blogspot.com/




SABTU, 05 JUNI 2010

RPH dalam Arti Persyaratan dan Pelaksanaannya


BAB I
PENDAHULUAN

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).
Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem product safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.
Penerapan product safety pada RPH ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu daging yang dihasilkan, termasuk kehalalan, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen, serta turut menjaga kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, sistem tersebut berfungsi sebagai pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis di RPH sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional.



BAB II
PEMBAHASAN

Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan.
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas (Manual Kesmavet, 1993).
Usaha pemotongan hewan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan pemotongan hewan selain unggas di rumah pemotongan hewan milik sendiri atau milik pihak lain atau menjual jasa pemotongan hewan (Manual Kesmavet, 1993).
1. Fungsi Rumah Potong Hewan/RPH
Rumah Pemotongan Hewan merupakan unit/sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat mempunyai fungsi sebagai:
a. Tempat dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar.
b. Tempat dilaksanakannya pemeriksaan hewan sebelum dipotong (antemortem) dan pemeriksaan daging (post mortem) untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia.
c. Tempat untuk mendeteksi dan memonitor penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan ante mortem dan post mortem guna pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular di daerah asal hewan.
d. Melaksanakan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif.
Pendapat lain dikemukakan oleh Lestari (1994) bahwa Rumah Pemotongan Hewan mempunyai fungsi antara lain sebagai:
a. Sarana strategis tata niaga ternak ruminansia, dengan alur dari peternak, pasar hewan, RPH yang merupakan sarana akhir tata niaga ternak hidup, pasar swalayan/pasar daging dan konsumen yang merupakan sarana awal tata niaga hasil ternak.
b. Pintu gerbang produk peternakan berkualitas, dengan dihasilkan ternak yang gemuk dan sehat oleh petani sehingga mempercepat transaksi yang merupakan awal keberhasilan pengusaha daging untuk dipotong di RPH terdekat.
c. Menjamin penyediaan bahan makanan hewani yang sehat, karena di RPH hanya ternak yang sehat yang bisa dipotong.
d. Menjamin bahan makanan hewani yang halal, dengan dilaksanakannya tugas RPH untuk memohon ridlo Yang Kuasa dan perlakuan ternak tidak seperti benda atau yang manusiawi.
e. Menjamin keberadaan menu bergizi tinggi, yang dapat memperkaya masakan khas Indonesia dan sebagai sumber gizi keluarga/rumah tangga.
f. Menunjang usaha bahan makanan hewani, baik di pasar swalayan, pedagang kaki lima, industri pengolahan daging dan jasa boga.

2. Persyaratan yang harus dimiliki oleh Rumah Potong Hewan/RPH
Syarat–syarat RPH telah diatur juga di dalam SK Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986. Persyaratan ini dibagi menjadi prasyarat untuk RPH yang digunakan untuk memotong hewan guna memenuhi kebutuhan lokal di Kabupaten/Kotamadya Derah Tingkat II, memenuhi kebutuhan daging antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu Propinsi Daerah Tingkat I, memenuhi kebutuhan daging antar Propinsi Daerah Tingkat I dan memenuhi kebutuhan eksport (Manual Kesmavet, 1993).
Menurut Manual Kesmavet (1993) RPH ini harus memenuhi syarat yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi syarat lokasi, kelengkapan bangunan, komponen bangunan utama dan kelengkapan RPH:
1. Lokasi RPH.
a. Lokasi RPH di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat penduduknya, dekat aliran sungai atau di bagian terendah kota.
b. Lokasi RPH di tempat yang mudah dicapai dengan kendaraan atau dekat jalan raya (Lestari, 1994b; Manual Kesmavet, 1993).
2. Kelengkapan bangunan.
a. Kompleks bangunan RPH harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan keamanan serta mencegah terlihatnya proses pemotongan hewan dari luar.
b. Mempunyai bangunan utama RPH.
c. Mempunyai kandang hewan untuk istirahat dan pemeriksaan ante mortem.
d. Mempunyai laboratorium sederhana yang dapat dipergunakan untuk pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit, pH, pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran darah.
e. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan atau karkas yang ditolak berupa tempat pembakar atau penguburan.
f. Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan yang ditunda pemotongannya.
g. Mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju ke sungai atau selokan.
h. Mempunyai tempat penampungan sementara buangan padat sebelum diangkut.
i. Mempunyai ruang administrasi, tempat penyimpan alat, kamar mandi dan WC.
j. Mempunyai halaman yang dipergunakan sebagai tempat parkir kendaraaan.
3. Komponen bangunan utama.
a. Mempunyai tempat penyembelihan hewan, tempat pengulitan, tempat pengeluaran jeroan dari rongga perut dan dada, tempat pembagian karkas, tempat pemeriksaan kesehatan daging.
b. Mempunyai tempat pembersihan dan pencucian jeroan yang terpisah dengan air yang cukup.
c. Berdinding dalam yang kedap air terbuat dari semen, porselin atau bahan yang sejenis setinggi dua meter, sehingga mudah dibersihkan.
d. Berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan agar air mudah mengalir, tidak licin dan sedikit kasar.
e. Sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk lengkung.
f. Berventilasi yang cukup untuk menjamin pertukaran udara.
4. Kelengkapan RPH.
a. Mempunyai alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai dengan penyelesaian proses pemotongan termasuk alat pengerek dan penggantung karkas pada waktu pengulitan serta pakaian khusus untuk tukang sembelih dan pekerja lainnya.
b. Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksa daging.
c. Persediaan air bersih yang cukup.
d. Alat pemelihara kesehatan.
e. Pekerja yang mempunyai pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinya syarat-syarat dan prosedur yang berlaku dalam pemotongan hewan serta penanganan daging.
Untuk RPH bagi pemotongan babi mempunyai syarat tambahan, yaitu:
a. RPH harus ada persediaan air hangat untuk perontokan bulu.
b. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan/pembersihan alat untuk babi harus terpisah dengan jarak yang cukup atau dengan pagar tembok setinggi paling sedikit 3 meter atau terpisah total dengan dinding tembok dan terletak di tempat yang lebih rendah dari pada yang untuk hewan lainnya.

Memenuhi Kebutuhan Daging Antar Dati II Dalam Satu Dati I
Menurut Manual Kesmavet (1993) untuk RPH yang diperuntukkan memenuhi kebutuhan daging antar Dati II dalam satu Dati I harus memenuhi semua syarat dari RPH untuk memenuhi daging dalam kebutuhan lokal Dati II ditambah dengan:
a. Kandang istirahat berlantai semen.
b. Laboratorium yang juga dapat dipergunakan untuk identifikasi kuman dengan pemupukan.
c. Tempat pemotongan darurat yang dilengkapi dengan ruang penahan daging.
d. Instalasi pengolahan limbah yang berupa saringan untuk memisahkan limbah/buangan padat secara fisik.
e. Mempunyai tempat pelayuan dengan dinding yang bagian dalamnya dilapisi bahan kedap air setinggi 2 meter dan dilengkapi dengan exhauster.
f. Dilengkapi dengan timbangan untuk karkas serta rel-rel pengangut karkas.

Memenuhi Kebutuhan Daging Antar Dati I
Menurut Manual Kesmavet (1993) untuk RPH yang diperuntukkan memenuhi kebutuhan daging antar Dati I harus memenuhi semua syarat RPH untuk memenuhi daging antar Dati II dalam satu Dati I ditambah dengan:
a. Laboratorium yang juga dapat digunakan untuk pemeriksaan residu antibiotika.
b. Instalasi pengolahan limbah dengan perlakuan secara fisik dan biologis (filtrasi, areasi, digesti anaerobis dan sedimentasi).
c. Tempat parkir kendaraan angkutan daging.
d. Mempunyai kandang istirahat berlantai semen dengan jarakminimal 50 meter dari bangunan utama.
e. Tempat untuk memperlakukan karkas/bahan yang ditolak berupa incineratordengan pembakar bertekanan yang memenuhi syarat kesehatan lingkungan (dengan cerobong asap).
f. Mempunyai ruang khusus dalam banguan utama untuk tempat mencuci dan merebus jeroan.
g. Mempunyai ruang pelayuan dengan dinding yang seluruh bagian dalamnya dilapisi porselin atau bahan lain yang sejenis dan dilengkapi dengan temperatur 18oC.
h. Mempunyai ruang pelepasan daging dari tulang dengan temperatur 18oC.
i. Dinding bagian dalam dari bangunan utama RPH tertutup penuh dengan porselin.
j. Tersedia air panas untuk mencuci pisau dan alat penanganan lain.
k. Mempunyai ruang ganti pakaian untuk karyawan.
l. Memeiliki kendaraan angkutan daging tanpa atau dengan alat pendingin yang disesuaikan dengan jarak angkut.
m. Dipekerjakan Dokter Hewan.

Memenuhi Kebutuhan Daging Eksport
Menurut Koswara (1998) dan Manual Kesmavet (1993) RPH yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan daging eksport harus memenuhi persyaratan seperti pada RPH untuk memenuhi kebutuhan antar Dati I ditambah dengan:
a. Mempunyai ruang pendingin yang dilengkapi dengan pintu pengaman dari bahan tidak berkarat serta pengatur sushu.
b. Mempunyai ruang pelepasan daging dari tulang dengan temperatur 10oC.
c. Mempunyai ruang pembungkusan, pewadahan dan penandaan produk akhir.
d. Mempunyai laboratorium yang juga dapat dipergunakan untuk pemeriksaaan hormon.
e. Mempunyai ruang untuk ganti pakaian, locker, ruang istirahat karyawan serta kantin.
f. Mempunyai kendaraan angkutan khusus yang harus dilengkapi dengan alat pendingin atau pengatur suhu.

3. Usaha Pemotongan Hewan
Menurut Manual Kesmavet (1993) usaha pemotongan hewan dapat dilaksanakan oleh perorangan WNI atau badan yang didirikan menurut hukum di Indonesia. Usaha pemotongan hewan didasarkan pada luasan peredaran daging yang dihasilkan dan diatur dalam SK Menteri Pertanian Nomer: 555/Kpts/TN.240/9/1986. Adapun usaha pemotongan hewan tersebut terbagi menjadi:
a. Kelas A: penyediaan daging untuk kebutuhan ekspor.
b. Kelas B: penyediaan daging untuk kebutuhan antar Propinsi Daerah Tingkat I.
c. Kelas C: penyediaan daging untuk kebutuhan antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II di dalam satu Propinsi Daerah Tingkat I.
d. Kelas D: penyediaan daging untuk kebutuhan di dalam wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Usaha pemotongan hewan menurut kegiatan usaha pemotongan hewan terdiri dari tiga kategori:
a. Kategori I: kegiatan melaksanakan pemotongan hewan milik sendiri di rumah pemotongan hewan milik sendiri.
b. Kategori II: kegiatan menjual jasa pemotongan hewan atau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain.
c. Kategori III: kegiatan melaksanakan pemotongan hewan pada rumah pemotongan hewan milik orang lain
(Manual Kesmavet, 1993).

4. Syarat Tata Cara Pemotongan
Syarat dan tata cara pemotongan hewan diatur di dalam SK Menteri Pertanian Nomor: 413/Kpts/TN.310/7/1992 dan dibedakan antara babi dengan sapi, kambing, domba, kerbau dan kuda (Manual Kesmavet, 1993).
Sapi, Kambing, Domba, Kerbau dan Kuda
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi hewan potong yang diuraikan dalam Manual Kesmavet (1993):
a. Disertai surat kepemilikan.
b. Disertai bukti pembayaran retribusi/pajak potong.
c. Memiliki surat ijin potong.
d. Dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang paling lama 24 jam sebelum penyembelihan.
e. Diistirahatkan paling sedikit 12 jam sebelum penyembelihan dilakukan.
f. Penyembelihannya dilakukan di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan.
g. Pelaksanaan pemotongan hewan potong dilakukan di bawah pengawasan dan menurut petunjuk-petunjuk petugas pemeriksa yang berwenang.
h. Tidak dalam keadaan bunting.
i. Penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam.
Syarat-syarat tersebut diatas untuk hewan potong bisa tidak dipenuhi jika dilakukan penyembelihan darurat. Penyembelihan hewan darurat dapat dilaksanakan jika hewan potong yang bersangkutan menderita kecelakaan yang membahayakan jiwanya dan jika hewan tersebut membahayakan keselamatan manusia dan atau barang. Jika penyembelihan darurat dilaksanakan di RPH atau tempat pemotongan hewan maka syarat d dan e tidak perlu dipenuhi. Jika penyembelihan darurat dilaksanakan diluar RPH atau tempat pemotongan hewan, maka syarat c, d, e, f, g, dan h tidak perlu dipenuhi dan setelah penyembelihan hewan harus dibawa ke RPH atau tempat pemotongan hewan untuk penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post mortem. Untuk penyembelihan hewan potong dalam rangka agama dan adat syarat b dan f tidak perlu dipenuhi (Manual Kesmavet, 1993).

Babi
Manual Kesmavet (1993) menerangkan bahwa SK Menteri Pertanian Nomor: 294/Kpts/TN.240/5/1989 memberikan syarat bagi babi yang harus dipotong sebagai berikut:
a. Harus disertai surat pemilikan dan bukti pembayaran retribusi/pajak potong menurut peraturan yang berlaku.
b. Dinyatakan diijinkan untuk dipotong tanpa syarat atau dengan syarat menurut pemeriksaan ante mortem yang dilakukan paling lama 24 jam sebelum penyenbelihan. Syarat ini tidak berlaku apabila dilakukan penyembelihan secara darurat.
c. Diistirahatkan paling lama 12 jam sebelum dilakukan penyembelihan.

5. Pelaksanaan Pemotongan Hewan pada Rumah Potong Hewan/RPH
Sapi, Kambing, Domba, Kerbau dan Kuda
Manual Kesmavet (1993) mengutarakan bahwa pemeriksaan ante mortem dilaksanakan dengan mengamati dengan seksama hewan potong yang akan disembelih mengenai:
a. Sikap hewan potong pada saat berdiri dan bergerak yang dilihat dari segala arah.
b. Lubang kumlah, selaput lendir mulut, mata, dan cermin hidung.
c. Kulit, kelenjar getah bening sub maxillaris, parotidea, prescapularis, dan inguinalis.
d. Ada atau tidaknya adanya tanda-tanda hewan potong telah disuntik hormon dan suhu badannya.
e. Mengadakan pengujian laboratorik apabila terdapat kecurigaan tentang adanya penyakit yang tidak dapat diketahui dalam pengamatan.
Pemeriksaan post mortem dimulai dengan pemeriksaan sederhana dan apabila diperlukan dilengkapi dengan pemeriksaan mendalam. Pemeriksaan sederhana meliputi pemeriksaan organoleptis yaitu terhadap bau, warna konsistensis dan pemeriksaan dengan cara melihat, meraba dan menyayat. Pemeriksaan mendalam dilakukan terhadap semua daging dan bagian hewan potong yang sisembelih tanpa pemeriksaan ante mortem, terhadap semua daging dan bagian hewan yang menderita atau menunjukkan gejala penyakit coryza gangraenosa bovum, haemorhagic septicemiia, piroplasmosis, surra, influensa equorum, arthritis, hernia, fractura, abces, ephithelimia, actinomycosis, actinobacillosis, mastitis, septichemia, cachexia, hydrops, oedema, brucellosis dan tuberculosis dan apabila berdasarkan pemeriksaan sederhana terdapat kelainan yang menyebabkan perlunya pemeriksaan mendalam. Peredaran daging yang mengalami pemeriksaan mendalam boleh diedarkan setelah menerima hasil pemeriksaan dan diperbolehkan untuk diedarkan ke konsumen (Manual Kesmavet, 1993).
Menurut SK Menteri Pertanian Nomor: 431/Kpts/TN.310/7/1992 yang terdapat dalam Manual Kesmavet (1993) pemeriksaan sederhana seperti yang telah disebutkan di atas dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan kepala lidah yang dilakukan secara lengkap dengan cara melihat, meraba, dan menyayat seperlunya alat-alat pengunyah (massetter) serta kelenjar-kelenjar sub maxillaris, sub parotidea, retropharyngealis dan tonsil.
b. Pemeriksaan organ rongga dada yang dilakukan dengan cara melihat, meraba dan menyayat seperlunya oesophagus, larynx, trachea, paru-paru serta kelenjar paru-paru yang meliputi kelenjar bronchiastinum anterior, medialis dan posterior, jantung dengan memperhatikan pericardium, epicardium, myocardium, endocardium, dan katup jantung dan yang terakhir diafragma.
c. Pemeriksaan organ rongga perut yang dilakukan dengan cara melihat, meraba dan menyayat seperlunya hati dan limpa, ginjal meliputi capsul, corteks dan medulanya dan pemeriksaan pada usus beserta kelenjar mesenterialis.
d. Pemeriksaan alat genetalia dan ambing yang dilakukan bila ada penyakit yang dicurigai.
e. Pemeriksaan karkas yang dilakukan dengan melihat, meraba dan menyayat seperlunya kelenjar prescapularis superficialis, inguinalis profunda/supramammaria, axillaris, iliaca dan poplitea.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pemeriksaan secara mendalam berupa penerapan salah satu atau beberapa tindakan-tindakan sebagai berikut:
a. Pengukuran pH daging.
b. Uji permulaan pembusukan daging.
c. Uji kesempurnaan pengeluaran darah.
d. Uji memasak dan memanggang (untuk pejantan).
e. Pemeriksaan mikrobiologi dan parasitologi.
f. Pemeriksaan residu antibiotika dan hormon.
g. Pemeriksaan zat warna empedu.
Tata cara penanganan daging diatur dalam SK Menteri Pertanian Nomor: 413/Kpts/TN.310/7/1992 (Manual Kesmavet, 1993), sebagai berikut:
a. Daging sebelum diedarkan harus dilakukan pelayuan selama sekurang-kurangnya 8 jam dengan cara menggantungkan di dalam ruang pelayuan yang sejuk, cukup ventilasi, terpelihara baik, dan higienis. 
b. Daging yang akan diedarkan harus memenuhi syarat (sesuai dengan SK Menpan) yang telah dikeluarkan oleh tanggung jawab dari RPH atau tempat pemotongan hewan. 
c. Tidak diperbolehkan menambah bahan atau zat pada daging yang dapat mengubah warna aslinya. 
d. Dalam penanganannya daging tidak boleh kontak dengan lantai dan tidak terkontaminasi.
e. Apabila diperlukan membagi karkas menjadi empat bagaian atau kurang dengan cara pemotongan dalam keadaan menggantung atau disediakan meja khusus.
f. Daging dalam bentuk tanpa tulang harus didinginkan sampai suhu 10oC atau kurang atau dibekukan sampai sushu –15oC dan harus dibungkus atau dikemas dengan baik.
g. Dalam pengangkutan karkas atau bagian karkas harus tetap dalam keadaan menggantung dan terpisah dari isi rongga perut dan dada serta bagian hewan potong lainnya.
h. Selama dalam pengangkutan tidak diperbolehkan seorang pun dalam ruang daging kendaraan pengangkut.
i. Pengangkutan daging untuk tujuan Dati II, Dati I atau negara lain harus disertai Surat Keterangan Kesehatan Dan Asal Daging yang dikeluarkan oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
j. Untuk tujuan eksport dan antar pulau harus memenuhi persyaratan karantina yang berlaku.
k. Ruang daging dalam kendaraan angkutan hanya dikhususkan untuk mengangkut daging dan memenuhi syarat yang ditentukan, antara lain: terbuat dari bahan anti karat, berlantai tidak licin, bersudut pertemuan antar dinding melengkung dan mudah dibersihkan, dilengkapi dengan alat penggantung dan lampu penerang yang cukup, dan untuk pengangkutan yang memerlukan waktu lebih dari 2 jam harus bersuhu setinggi-tingginya 10oC dan untuk daging beku bersuhu setinggi-tingginya –15oC.
l. Selama perjalanan tempat daging tidak boleh dibuka atau harus ditutup.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa tempat penjualan daging di pasar harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Terpisah dari tempat penjualan komoditi yang lain.
b. Bangunan permanen dengan lantai kedap air, ventilasi cukup, langit-langit tidak mudah dilepas bagiannya, dinding tembok permukaannya licin dan berwarna terang atau yang terbuat dari porselin putih, mempunyai loket yang bagian atasnya dilengkapi dengan kawat kasa atau alat lain untuk mencegah masuknya lalat atau serangga lain serta dilengkapi lampu penerangan yang cukup.
c. Disediakan meja berlapis porselin putih dan tempat serta alat penggantung bagian daging yang terbuat dari bahan yang tidak berkarat.
d. Selalu tersedia air bersih yang cukup untuk keperluan pembersihan tempat penjualan dan tempat pencucian tangan.
e. Selalu dalam keadaan bersih.
f. Daging beku dan daging dingin yang ditawarkan di toko daging dan swalayan harus ditempatkan dalam alat pendingin, kotak pamer berpendingin dengan suhu yang sesuai dengan suhu daging yang dilengkapi dengan lampu yang pantulan cahayanya tidak merubah warna asli daging.
g. Daging yang dijual dengan menjajakan keliling dari rumah ke rumah harus ditempatkan di dalam wadah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: mempunyai tutup, sedapat-dapatnya berwarna putih dan bagian dalamnya dilapisi dengan bahan yang tidak berkarat.

Gambar 1. Bentuk, ukuran dan tulisan tanda stempel daging hewan potong
Babi
Sebelum pemotongan babi harus diperiksa dahulu kesehatannya dengan pemeriksaan yang disebut pemeriksaan ante mortem pada tempat yang telah disediakan dan oleh petugas pemeriksa yang berwenang, dengan pengamatan sebagai berikut:
a. Keadaan umumnya dengan memperhatikan sikap babi saat berdiri dan bergerak dari segala arah.
b. Keadaan lubang kumlah, selaput lendir mulut, mata, dan cermin hidung.
c. Keaadan kulit dan bila perlu kelenjar getah bening sub maxillaris, parotidea, prescapularis, dan inguinalis.
d. Ada atau tidak adanya babi telah disuntik dengan suntikan hormon.
e. Suhu badannya.
f. Mengadakan pengujian laboratorium jika terjadi kecurigaan tentang adanya penyakit yang tidak diketahui dari pengamatan.
Setelah dilakukan pengujian ante mortem tersebut diberikan ijin (berlaku hanya 24 jam) untuk disembelih oleh petugas pemeriksa yang diberi wewenang jika ternak dalam keadaan memenuhi syarat untuk disembelih (sehat dan daging tidak membahayakan bagi konsumen).
Cara penyembelihan babi berlainan dengan cara penyembelihan hewan, penyembelihan hewan dengan menggunakan kaidah-kaidah aturan cara penyembelihan secara Islam, jika penyembelihan dengan cara seperti yang diterangkan oleh Manual Kesmavet (1993), sebagai berikut:
a. Menyembelih babi dilakukan dengan menusuk jantung melalui intercostal I atau dengan memotong urat nadi leher.
b. Sebelum disembelih dapat dipingsankan dahulu.
c. Setelah babi tidak menunjukkan tanda-tanda bergrak dan darah berhenti mengalir dilakukan penyelesaian dengan urutan: babi digantung, dikuliti, isi rongga perut dan dada dikeluarkan, karkas dibelah memanjang sampai batas kepala, kepala dapat dilepaskan dari karkas.
d. Untuk upacara adat dan keagamaan pengulitan dapat tidak dilakukan atas ijin khusus petugas pemeriksa dan setelah penyembelihan dilakukan penanganan dengan urutan: babi dimasukkan ke dalam air panas, bulu dikerok sampai habis, digantung, isi rongga perut dan dada dikeluarkan.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa setelah proses penanganan penyembelihan selesai di RPB (Rumah Pemotongan Babi) dilakukan pemeriksaan post mortem pada daging dan bagian-bagian yang lain secara utuh. Dalam pemeriksaan ini diperlukan pisau tajam dan alat-alat yang lain yang bersih dan tidak berkarat yang sudah disuci hamakan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas berwenang yang telah ditunjuk pada empat yang terang dan disediakan khusus. Pemeriksaan post mortem diawali dengan pemeriksaan sederhana dan jika diperlukan dilanjutkan dengan pemeriksaan mendalam. Pemeriksaan sederhana meliputi pemeriksaan organoleptis (bau, warna dan konsistensi) dan pemeriksaan dengan cara melihat, meraba dan menyayat. 
Pemeriksaan sederhana dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Kepala dan lidah dilihat secara lengkap dengan cara melihat, meraba dan menyayat seperlunya alat-alat pengunyah serta kelenjar-kelenjar sub maxillaris, sub parotidea, retropharyngealis, dan tonsil.
b. Rongga dada dilihat, diraba dan disayat seperlunya pada oesophagus, larynx, trachea, paru-paru serta kelenjar paru-paru yang meliputi kelenjar bronchiastinum anterior, medialis dan posterior, jantung diperhatikan pada bagian pericardium dan katup jantung, dan yang terakhir pada diafragma.
c. Organ rongga perut dilihat, diraba dan disayat seperlunya pada bagian limpa, hati, ginjal (capsul, cortex, medula) dan usus beserta kelenjar mesenterialis.
d. Alat genetalia dan ambing diperiksa bila ada gejala penyakit yang dicurigai.
e. Karkas diraba, dilihat, dan disayat seperlunya terutama pada kelenjar prescapularis superficialis, inguinalis profunda/supramammaria, axillaris, iliaca dan poplitea.
Manual Kesmavet (1993) menyatakan perlu dilakukan pemeriksaan mendalam apabila produk babi yang disembelih tidak dilakukan pemeriksaan ante mortem, diperiksa secara ante mortem tetapi diijinkan disembelih dengan syarat dan jika pada pemeriksaan sederhana terdapat kelainan. Pemeriksaan mendalam dilakukan dengan menerapkan salah satu atau beberapa tindakan sebagai berikut:
a. Pengukuran pH daging.
b. Uji permulaan pembusukan daging.
c. Uji kesempurnaan pengeluaran darah.
d. Uji memasak dan memanggang (untuk pejantan).
e. Pemeriksaan mikrobiologi dan parasitologi.
f. Pemeriksaan residu antibiotika dan hormon.
g. Pemeriksaan zat warna empedu. 
Setelah pemeriksaan secara mendalam selesai maka daging babi tersebut dinyatakan oleh petugas yang telah mendapat wewenang dapat diedarkan untuk konsumsi, diedarkan dengan syarat sebelum pengedaran, diedarkan dengan syarat selama pengedaran dan tidak boleh diedarkan. Daging boleh diedarkan untuk konsumsi bila daging babi tersebut dari babi yang tidak menderita suatu penyakit. Daging boleh diedarkan dengan syarat sebelum pengedaran apabila dilakukan perlakuan tertentu sebelum diedarkan. Daging boleh diedarkan untuk konsumsi dengan syarat harus dilakukan perlakuan tertentu atau cara tertentu dalam pengedarannya atau dilakukan pengawasan dengan cara tertentu selama pengedarannya apabila dalam pemeriksaan post mortem dijumpai warna, konsistensi atau bau daging yang tidak normal, septichemia, cachexia, hydrops, dan oedema. Daging babi dinyatakan tidak boleh diedarkan untuk konsumsi apabila berasal dari babi yang menderita penyakit:
a. Antraks.
b. Tetanus.
c. Rabies.
d. Pseudo rabies.
e. Erysipelas akut dengan erythrema.
f. Hog cholera.
g. Tuberculosis yang sifatnya ekstensif.
h. Cysticercosis dengan infestasi merata.
i. Trichinellosis dengan infestasi berat.
j. Mycotoxicosis baik akut maupun kronis.
k. Collibacilosis.
l. Residu pestisida/ obat/ hormon/ bahan kimia/ lain yang membahayakan manusia.
Sebelum diedarkan untuk dikonsumsi pasca pemeriksaan post mortem petugas yang berwenang memberikan tanda stempel pada daging dengan menggunakan zat warna yang tidak membahayakan kesehatan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh aturan yang berlaku seperti tampak pada Gambar 2 (babi).

Gambar 2. Model, ukuran, dan tulisan tanda/stempel daging babi


DAFTAR PUSTAKA

Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong, Jakarta.

Lestari, P.T.B.A., 1994a. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.

Lestari, P.T.B.A., 1994b. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.

Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Diposkan oleh Septinadi 06.27


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PD.RUMAH POTONG HEWAN KOTA MEDAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger