Home » » Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan Milik Pemerintah di Jawa Barat Oleh : Rochadi Tawaf

Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan Milik Pemerintah di Jawa Barat Oleh : Rochadi Tawaf

Written By Unknown on Selasa, 21 Mei 2013 | 17.12

Seminar Nasional IV Peternakan Berkelanjutan
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
Jatinangor, 7 Nopember 2012

ABSTRAK

Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan

Milik Pemerintah di Jawa Barat

Oleh : Rochadi Tawaf

Rantai pasok daging sapi (beef supply chain) global menjadi salah satu komponen yang strategis di dalam pemenuhan pangan dan sistem logistik daging sapi nasional. Pada saat ini industri daging sapi, atau rantai pasok daging sapi nasional, dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat kompetitif. Oleh sebab itu, tuntutan terhadap Indonesia untuk menyelaraskan diri terhadap berbagai norma dan regulasi perdagangan internasional semakin diperlukan. Khususnya untuk komoditas perdagangan sapi potong, isu-isu mengenai kepuasan dan kepercayaan konsumen atas atribut-atribut non ekonomi, seperti keamanan pangan, kemamputelusuran (traceability) dan kesejahteraan hewan (animal welfare) semakin intensif dikemukakan diberbagai forum.

Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) bahwa kondisi RPH saat ini berjumlah sekitar 800 RPH. Dari jumlah ini, baru 25 RPH direvitalisasi yang memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner), ditargetkan pada tahun 2012 yang akan memiliki NKV dan bertaraf internasional 150 RPH dan 11 RPH yang telah diaudit oleh lembaga independent Auditor.
Standarisasi RPH pemerintah di Jawa Barat dapat dilakukan sesuai dengan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner, dan Peraturan Menteri Pertanian No. 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging serta SNI tentang rumah potong hewan No. 01-6159-1999. Selain itu, kondisi social budaya masyarakat perlu dijadikan pertimbangkan dalam melakukan standarisasi.

Kesimpulan; 
(1) Jawa Barat sebagai sentra konsumen daging nasional, harus memiliki manajemen RPH yang berstandar Nasional Indonesia (SNI) terutama RPH milik pemerintah. 

(2) Manajemen RPH milik pemerintah di Jawa Barat dapat mengacu kepada konsep ”meat business centre”, sehingga RPH dapat menghasilkan produk yang berdaya saing.
Kata Kunci : Standarisasi, RPH, dan kesejahteraan hewan

STANDARISASI MANAJEMEN RUMAH POTONG HEWAN
MILIK PEMERINTAH DI JAWA BARAT
Oleh : Rochadi Tawaf


PENDAHULUAN

Rantai pasok daging sapi (beef supply chain) global menjadi salah satu komponen yang strategis di dalam pemenuhan pangan dan sistem logistik daging sapi nasional. Pada saat ini industri daging sapi atau rantai pasok daging sapi nasional, dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat kompetitif. Semakin senjangnya kapasitas produksi daging sapi nasional dengan laju pertumbuhan permintaan konsumsi menyebabkan Indonesia semakin berkepentingan dengan rantai global untuk mereduksi tingkat kesenjangan tersebut. Oleh sebab itu, pada akhir-akhir ini, tuntutan terhadap Indonesia untuk dapat menyelaraskan diri terhadap berbagai norma dan regulasi perdagangan internasional (terms of trade) sapi potong dan daging sapi tampaknya semakin keras disuarakan oleh berbagai pihak yang menjadi mitra perdagangan internasional Indonesia. Khususnya untuk komoditas perdagangan sapi potong, isu-isu mengenai kepuasan dan kepercayaan konsumen atas atribut-atribut non ekonomi, seperti keamanan pangan (food safety), kemamputelusuran (traceability) dan kesejahteraan hewan (animal welfare) semakin intensif dikemukakan di berbagai forum perdagangan internasional.

Pasca penayangan kekejaman pemotongan sapi impor di salah satu RPH (Rumah Potong Hewan) di Indonesia oleh TV ABC di acara Four Corners pada bulan Mei 2011, pemerintah Australia secara resmi mengumumkan embargo ekspor sapi potong ke Indonesia. Pada faktanya, embargo tersebut, telah menimbulkan dampak bagi kestabilan stok daging sapi pada tingkat nasional. Setelah embargo, volume stok daging sapi di tingkat nasional diperkirakan mengalami penurunan yang cukup nyata. Meskipun tidak terdapat data resmi mengenai perubahan stok daging sapi nasional, penurunan volume stok tersebut dapat teramati dari pergerakan harga daging sapi di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar yang merupakan wilayah utama konsumsi daging sapi nasional. Secara berangsur, harga daging sapi mengalami kenaikan sebesar (20-30) % di dalam jangka waktu 8 bulan terakhir ini.

Selain dari permasalahan embargo tersebut, pemberlakuan pembatasan tingkat impor sapi potong yang dilakukan oleh pemerintah tampaknya juga berkontribusi secara nyata terhadap ketersediaan daging sapi di tingkat nasional. Berdasarkan hasil sensus sapi potong dan kerbau (PSPK) tahun 2011, dimana populasi sapi potong nasional telah mencapai 14,8 juta ekor, pemerintah mulai berkeyakinan bahwa Indonesia mulai dapat berswasembada daging sapi. Keyakinan ini didasarkan atas perhitungan-perhitungan yang termuat di dalam “Cetak Biru Swasembada Daging Sapi tahun 2014”, yang menyatakan bahwa swasembada daging sapi nasional akan tercapai pada saat populasi sapi potong Indonesia mencapai besaran antara 14,2 juta ekor. Oleh karena itu, sejak tahun 2011, tingkat impor sapi potong diturunkan secara drastis. Namun begitu, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, tingkat harga daging sapi berangsur mengalami kenaikan. Pada perspektif ekonomi, kondisi ini menyiratkan timbulnya kelebihan permintaan (excess demand) atas daging sapi secara nasional.

Kedua fenomena tersebut setidaknya dapat menunjukkan bahwa untuk beberapa tahun mendatang, rantai pasok daging sapi nasional akan semakin terintegrasi dengan rantai pasok global, baik secara fisik maupun kelembagaan. Di dalam konteks ini, setiap pelaku di dalam rantai pasok nasional (chain actor) masing-masing memiliki peran yang signifikan di dalam menjamin keintegrasian rantai pasok daging sapi nasional tersebut. Di antara sekian banyak pelaku dalam rantai, Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan salah satu pelaku dalam rantai yang diyakini menjadi simpul strategis yang menghubungkan antara rantai pasok nasional, global, dan konsumen daging sapi nasional. Di sisi produksi, RPH merupakan lembaga yang menjadi muara tataniaga sapi potong, baik nasional atau pun global, sementara pada sisi konsumsi, RPH merupakan lembaga yang berfungsi untuk menjamin ketersediaan daging sapi bagi konsumen, baik kuantitasnya atau pun kualitasnya.

Namun dibalik fungsi pentingnya sebuah RPH, khususnya bagi konsumen, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa dari sekitar 800 unit RPH yang ada di Indonesia, ternyata baru 25 unit RPH yang telah memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner). NKV merupakan tolok ukur resmi dan sah yang menunjukkan telah dipenuhinya persyaratan higienis-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan yang diproduksi oleh sebuah RPH. Pada tahun 2012 ini, pemerintah Indonesia menargetkan untuk memberikan NKV pada 150 unit RPH. Selain itu, auditor indenpenden telah mengaudit RPH di Indonesia yang sesuai dengan National Livestock Identification System (NLIS) nya Australia, ternyata hanya sebanyak 11 unit RPH yang dapat memenuhi standar rantai pasok dan NLIS tersebut.

FUNGSI RUMAH POTONG HEWAN

Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum (Permentan No. 13/2010 tentang RPH). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa RPH merupakan unit pelayanan
masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:
a) pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b) pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c) pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.

Pada pasal 62 UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dinyatakan, bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa undang-undang mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk memenuhi persyaratan teknis RPH di wilayahnya. Namun, pada realitanya RPH yang memiliki fungsi utama melindungi konsumen terhadap kehalalan ternak yang dipotong, kesehatan daging dan menjaga kualitas daging yang dihasilkan, pada saat ini fungsi tersebut masih terabaikan. Para pengusaha jagal (pemotong ternak) masih berfikir sangat sederhana, yaitu pemotongan ternak dan prosesing daging dilakukan asal halal menurut syariat Islam. Sesungguhnya dalam proses pemotongan, ternak perlu diistirahatkan dengan waktu yang cukup, dan perlakuannya tidak boleh “dilakukan penyiksaan”. Seharusnya ternak sebelum dipotong dalam keadaan istirahat, dimandikan dan dipotong pada keadaan tenang sehingga proses ketegangan otot dapat dihindarkan. Faktanya, dalam proses pemotongan, ternak masih diperlakukan semena-mena. Dampak dari cara pemotongan yang tradisional tersebut, diperoleh daging yang berkualitas rendah. Selain itu, dalam proses pasca pemotongan ternak, hampir tidak pernah dilakukan pelayuan, daging atau karkas langsung dibawa oleh pedagang dan dijual dalam “keadaan panas” (hot meat). Keadaan ini dilakukan karena konsumen lebih menyukai daging panas dari pada daging dingin (chill meat atau frozen meat). Hal inilah yang menyebabkan seluruh RPH bekerja pada malam hari, karena setelah dilakukan pemotongan, pada malam itu juga daging didistribusikan ke pasar-pasar yang mulai berdagang pada dinihari dan sampainya di konsumen rumah tangga pada pagi hari.

Kenyataan tersebut yang menyebabkan, turunan bisnis pemotongan sapi yang berlanjut pada kegiatan “prosessing meat” atau “meat handling” berjalan dan dilakukan secara terpencar di masing-masing pasar, bukannya disuatu tempat yang mudah diawasi. Akibatnya seluruh bisnis ini menjadi tidak efesien, para jagal tidak menikmati keuntungan yang seharusnya diperoleh lebih besar, demikian pula halnya pemerintah tidak memperoleh manfaat dan sangat sulit melakukan pembinaan kepada para para jagal dan bisnis turunannya.

STANDARISASI RUMAH POTONG HEWAN

Pada SNI tentang rumah potong hewan No. 01-6159-1999 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging diatur beberapa persayaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah rumah potong hewan, persyaratan tersebut mengatur mengenai :
1. Persyaratan lokasi :
a) Tidak bertentangan dengan rencana umum tata ruang dan rencana detail tata ruang wilayah
b) Tidak berada ditengah kota, letak lebih rendah dari pemukiman penduduk
c) Tidak berada dekat industri logam atau kimia serta daerah rawan banjir
d) Lahan luas
2. Persyaratan sarana : Jalan yang baik, cukup sumber air dan Tenaga listrik yang cukup.
3. Persyaratan bangunan dan tata letak bangunan yang harus ada antara lain : Kandang istirahat , Kandang isolasi , Kantor administrasi dan kantor dokter hewan, Tempat istirahat karyawan, kantin dan mushala, Tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti pakaian, Kamar mandi, Sarana pengolahan limbah, Incinerator, Tempat parker, Rumah jaga dan Menara air
4. Persyaratan peralatan
a. Semua alat terbuat dari bahan yang mudah korosif dan mudah dibersihkan b. Alat yang langsung bersentuhan dengan daging tidak bersifta toksis c. Dilengkapi dengan system rel dan alat penggantung karkas d. Dilengkapi sarana desinfektan e. Dilengkapi peralatan khusus karyawan
5. Persyaratan karyawan dan perusahaan
a. Setiap karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya min 1 x setahun b. Karyawan mendapat pelatihan tentang hygiene dan mutu c. Karyawan daerah kotor dan bersih dipisah 6. Pengawasan kesmavet a. Diberlakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem b. Memiliki tenaga dokter hewan
7. Kendaraan pengangkut daging : dengan menggunakan box tertutup yang dilengkapi alat pendingin dan alat penggantung karkas.
8. Persyaratan ruang pendinginan/pelayuan ; bersih, cukup cahaya, sanitasi lancar
9. Persyaratan pembekuan; bersih, cukup cahaya, sanitasi lancar
10. Persyaratan ruang pembagian karkas dan pengemasan daging
11. Persyaratan laboratorium.
Selain beberapa persyaratan tersebut di atas, bangunan induk RPH harus mengacu pada Standar internasional dan meliputi :
1) Bangunan Utama terdiri atas: Rumah Pemotongan (slaughter house), Kandang Penampungan Sementara (lairage), Karantina (quarantine), Tempat Penurunan Sapi (cattle ramp), Ruang Pembakaran (incenerator), Rumah Diesel (power house), Pengolaha Limbah Cair (waste water treatment), Perkantoran (office), Laboratorium (laboratory) dan gang-gang disekitar RPH (gangway)
2) Bangunan Pendukung terdiri atas: Gudang (workshop), Garasi (garage), Pos Jaga (guard house), Perumahan (housing), Kantin (canteen), Ruang Istirahat (rest room) dan Tempat Ibadah (prayer place)
3) Infrastruktur terdiri atas :Jalan-jalan dan Areal Parkir (roads and parking),Tower Tempat Air (water plant) dan Pagar/Tembok Pembatas (yard fencing)

MEAT BUSINESS CENTER

Apabila setiap rumah potong hewan milik pemerintah di Jawa Barat memiliki Standarisasi sesuai SNI No. 01-6159-1999, tentu akan berdampak positif terhadap kegiatan budidaya ternak sapi potong. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya perlu dilaksanakan secara profesional. Atas dasar hal tersebut, membangun RPH bukan hanya membangun fisiknya, tetapi juga membangun kesistemannya. Artinya, dalam pengelolaannya RPH harus dilengkapi dengan tempat penampungan hewan/rekondisi (sebelum disembelih), tempat pemingsanan (stunning), penyembelihan (slaughtering), pengulitan (dehiding), pengeluaran jeroan (evisceriting), pembelahan karkas (splitting), pemeriksaan daging (meat inspecting), pelayuan daging (aging), dan pendinginan (cooling), dengan menerapkan prinsip zero waste, maka diharapkan kondisi lingkungan sekitar RPH tidak akan tercemar, bahkan cenderung kondusif. Sistem ini dilengkapi juga dengan suatu manajemen organisasi profesional yang dikendalikan oleh kelembagaan dan orang-orang yang memiliki pengalaman yang cukup pada bidang tersebut. RPH tersebut harus dilandasi konsep agribisnis dimana RPH tidak hanya sebagai lembaga yang menyediakan jasa pemotongan, tetapi sekaligus sebagai Meat Business Centre (MBC), sehingga keberadaan RPH tersebut akan memiliki multiplier effect yang relatif besar (lihat skema).




Berdasarkan skema tersebut, tampaknya fungsi RPH sebagai food security dan food safety, bermakna bahwa secara kuantitas ketersedian daging maupun sapi yang diperuntukan bagi masyarakat cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi minimal, dan dari segi kualitas, daging hasil pemotongan terjamin mutunya. Untuk melakukan hal tersebut, hubungan usaha antara RPH dengan para pemasok sapi dan para pemasar yang membutuhkan sapi harus mampu dijalin secara efektif dan berksinambungan. Sehingga tidak dimungkinkan terjadi kekosongan barang di suatu RPH, atau kesulitan memasarkannya. Setiap RPH selayaknya memiliki suatu kerjasama yang tertutup, dengan cara pemotongan yang standar. Upaya memberikan perlindungan dan keamanan terhadap konsumen, dengan menciptakan pusat perdagangan daging (Meat Business Center) bukan hanya sekedar tempat pemotongan hewan atau bisnis jasa saja. Visinya merupakan industri prosesing daging yang menguntungkan dan mampu memberikan pelayanan, perlindungan serta keamanan terhadap daging bagi masyarakat dengan produk yang dikenal dengan istilah HAUS (halal, aman, utuh dan sehat). Atas dasar ini, aktivitas di MBC merupakan industri prosesing daging yang menghasilkan potongan-potongan daging dan hasil ikutannya antara lain seperti kulit, darah, lemak, tulang dan jeroan. Selain itu juga, ditempat ini dapat dilakukan prosesing daging (baso, sosis, corned beef dsb) serta prosesing hasil ikutannya seperti prosesing kulit, lemak, dan darah. Sebagai pusat kegiatan perdagingan, di area ini terdapat pula pusat perkantoran para pengusaha daging, pergudangan, tempat perdagangan grosir dan kegiatan lembaga keuangan. Keseluruhan aktivitas tersebut, selama ini dilakukan terpencar, di pasar-pasar bahkan di rumah-rumah pemukiman, akibatnya sering-sering mengganggu lingkungan pemukiman. Para pengusaha jagal tentunya akan sangat dimudahkan dengan ketersediaan sapi, dan prosesing daging di tempat itu. Konsumen akan dimudahkan pula untuk mencari informasi mengenai daging di MBC.

Selain itu, Pemerintah dapat melakukan pembinaan terhadap bisnis ini antara lain melalui pengawasan dan penerbitan sertifikasi mutu/kualitas daging. Para pengusaha suplier sapi yang tergabung dalam Apfindo memiliki kontribusi kongkrit bersama asosiasi pedagang daging (Apdasi) dalam mengelola secara bersama bisnis ini. Sehingga pasarnya menjadi captive. Tentunya sistem manajamen ini akan menjadikan bisnis pemotongan sapi akan terjamin dalam sistem pembayaran, karena telah terjadi “closed circuit” peredaran uang dan barang.Tidak seperti kondisi saat ini, dimana bisnis perdagangan daging dihantui oleh resiko piutang macet.

SIMPULAN DAN SARAN

1) Jawa Barat sebagai sentra konsumen daging nasional, harus memiliki manajemen RPH yang berstandar Nasional Indonesia (SNI) terutama RPH milik pemerintah.
2) Manajemen RPH milik pemerintah di Jawa Barat dapat mengacu kepada konsep ”meat business centre”, sehingga RPH dapat menghasilkan produk yang berdaya saing.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional (1999); SNI tentang Rumah Potong Hewan No. 01-6159-1999. Pusat Standarisasi LIPI Jakarta
Kementrian Pertanian (2010), Peraturan Menteri Pertanian No. 13/Permentan/ OT.140/1/2010 Tentang Persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan Unit penanganan daging (meat cutting plant). Berita Negara RI No. 60/2010.
Kementrian Pertanian (2005), Peraturan Menteri Pertanian No. 381/Kpts/OT.140/10/2005 Tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan.
Tawaf, R (2006) Rancangan Teknis Rinci Meat Business Centre Di Kabupaten Bandung, Fakultas Peternakan Unpad.
----------- (2004) Identifikasi Rumah Potong Hewan (MBC). Dinas Peternakan Perikanan Kabupaten Bandung – Fapet Unpad.
------------ (2006) Detail Engenering Design Meat Business Center; Kerjasama Dinas Peternakan Perikanan Kab. Bandung dengan Fakultas Peternakan Unpad
------------ ((22001122)) Kontribusi Usaha Penggemukan Sapi Potong Dalam Penyediaan Daging Sapi Di Jawa Barat; Seminar Pembangunan Jawa Barat
diselenggarakan oleh Jaringan Peneliti Jawa Barat bekerjasama dengan LPPM Unpad, Jatinangor tangal 12-13 Juni 2012
------------ (2012). Mewujudkan Pengelolaan RPH Indonesia yang Berprinsip Kesrawan, seminar diselenggarakan oleh PB ISPI-PDHI pada Pameran Indolivestock, Jakarta 5 Juli 2012.
------------ (2012). Dampak Penerapan Kesrawan Terhadap Peningkatan Produktivitas Sapi Potong, Traveling Seminar di Bandung, Jakarta, Lampung dan Medan, kerjasama PB ISPI – PB PDHI - Meat Livestock Australia. Februari – Maret 2012.

Sumber Artikel : http://unpad.academia.edu/RochadiTawaf

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PD.RUMAH POTONG HEWAN KOTA MEDAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger