Puluhan Tahun, RPH Babi Kapuk Cemari Lingkungan Warga
BERITAJAKARTA.COM 23-05-2013 14:44
Keberadaan Rumah Potong Hewan (RPH) Babi yang telah lama beroperasi di RW 04, Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, membuat lingkungan warga setempat semakin tidak sehat. Warga berharap agar RPH tersebut dipindah, karena kotorannya yang kerap mencemari saluran air warga.
Keberadaan Rumah Potong Hewan (RPH) Babi yang telah lama beroperasi di RW 04, Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, membuat lingkungan warga setempat semakin tidak sehat. Warga berharap agar RPH tersebut dipindah, karena kotorannya yang kerap mencemari saluran air warga.
RPH Babi yang dikelola oleh PD Dharma Jaya sejak tahun 1967 itu selama ini tidak memiliki pengelolaan limbah yang baik. Ironisnya, limbah kotoran dan darah hewan tersebut kerap dibuang ke saluran. Selain menimbulkan bau yang tidak sedap, juga membuat warga setempat terserang penyakit gatal, diare, dan ISPA.
“Sejak keberadaan RPH babi tahun 1967 sampai saat ini belum memiliki pengolahan limbah terpadu. Jadi limbah dibuang ke saluran air yang melintasi pemukiman warga,” ujar Ketua RW 04, Nurachmat, Kamis (23/5).
Sebenarnya, kata Nurachmat, RPH babi tersebut memiliki tempat pengelolaan limbah. Namun, kondisinya sudah tua sehingga sudah tidak mampu lagi menampung limbah kotoran babi.
“Setiap hari ada 500 ekor babi yang dipotong. Kalau satu ekor babi menghasilkan 5 kilogram limbah, berarti ada 2.500 kilogram limbah. Nah, pengolahan limbah hanya bisa menampung sepertiganya, sisanya dibuang ke saluran air. Saat ini juga keberadaan RPH sudah di bawah permukaan air. Jadinya karena sering terkena banjir, pengelola memompa dan membuang sebagian limbahnya ke saluran,” jelas Nurachmat.
Imbasnya, saluran air menjadi bau dan tercemar. Selain itu, limbah juga mencemari Kali Apuran dan Kali Angke. Sebab, saluran air yang melintasi pemukiman warga bermuara ke kedua kali tersebut. Di kawasan RPH ini, setidaknya ada 7 RW yakni RW 01,02,04,05,07 dan 10 warga yang bermukim dengan 5.000 kepala keluarga (KK), dan itu belum termasuk Kelurahan Kedaung Kaliangke di RW 01.
“Sudah tak terhitung sejak tahun 1967 warga yang jatuh sakit. Bahkan ada yang meninggal,” tuturnya.
Menurutnya, dulu Gubernur DKI Sutiyoso sempat datang meninjau ke lokasi lantaran menerima keluhan warga, tapi sampai sekarang tidak ada perubahan. "Kami berharap RPH babi segera direlokasi, jangan di tempat itu lagi, karena sudah tidak sesuai,” tegas Nurachmat.
Kepala Kantor Pengelola Lingkungan Hidup (KPLH) Jakarta Barat, Supardiyo mengatakan, proses penyelesaian masalah RPH babi tersebut telah dilimpahkan ke tingkat Provinsi DKI Jakarta. Sebab, KPLH tingkat wilayah tidak memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran, penyegelan, maupun menutup kegiatan usaha yang melanggar.
Supardiyo mengakui, RPH babi tersebut dikelola tidak sesuai dengan persyaratan dan peraturan, karena Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang digunakan terlalu kecil dan kurang berfungsi, sehingga limbah yang dialirkan ke saluran air warga menimbulkan pencemaran.
Untuk itu, Supardiyo menyarankan, RPH babi tersebut bisa menggunakan IPAL portabel yang harganya relatif murah yaitu sekitar Rp 330 juta dengan kapasitas 25 meter kubik per hari. “Itu bisa menjadi solusi, jika belum ada anggaran membuat IPAL yang ideal,” tutur Supardio
Dia juga menyarankan, RPH babi yang merupakan anak perusahaan Pemprov DKI itu sepatutnya memberikan contoh positif. Sebab masalah limbah tidak bisa ditawar-tawar dan tidak boleh semaunya, karena dampak yang dirasakan warga sudah puluhan tahun lamanya.
“Kami di wilayah sudah beberapa kali menegur RPH babi tersebut. Namun, tetap tidak didengar hingga kasusnya kami limpahkan ke tingkat Provinsi DKI,” jelas Supardio.
Sesuai peraturan gubernur (Pergub) No 2131 tahun 1999, pelanggaran terhadap pencemaran berupa penutupan saluran dan limbah cair, katanya, pengelola RPH bisa diberi sanksi berupa pencabutan tanda daftar industri, dicabut tanda daftar perusahaan, dicabut surat izin usaha perdagangan, sampai diselesaikan ke pengadilan baik perdata maupun pidana.
“Tapi perusahaan ini Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), jadi masalahnya serba riskan dan sulit,” ucapnya.
Reporter: moan | Editor: dunih | Dibaca: 278 kali
Sumber Berita : http://www.beritajakarta.com/
0 komentar:
Posting Komentar